BREAKING
Stop Kekerasan di Papua Barat

Monday, April 27, 2015

Demokratisasi Indonesia di Papua

Oleh: Moses Douw

Kata demokrasi awalnya berasal dari bahasa Yunani yakni demos dan kratos yang artinya Rakyat dan Kekuasaan atau kekuatan. Secara langsung diartikan sebagai kekuasan rakyat. Demokrasi merupakan dimana sistem pemerintahan dan pemerintahan milik rakyat dalam artian kekebasan berekspresi, berpendapat, bergerak, berdiskusi, berinteraksi, beragama dan independen dalam pengambilan keputusan serta penegakan hukum. Sedangkan demokratisasi merupakan proses dimana mencapai kesempurnaan dan proses menuju demokrasi. Sehingga demokrasi dijadikan sebagai sistem pemerintahan, dengan tata pemerintahan presidential. Negara yang menganut demokrasi yakni: Australia, Amerika, Belanda, New Zeland dan lainnya. Salah satunya Negara Indonesia yang di kelaskan sebagai setengah demokrasi.

Berdasarkan status Indonesia yang mana telah menganut tata negara presidential merupakan sistem pemerintahan dan seluruh urusan pemerintah diatur oleh presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintah. Hal ini, tidak sama dengan tata pemerintahan parlementer yang mana tata negaranya tidak di urus oleh kepala negara, melainkan memeberikan wewenangan kepada daerah untuk mengurusi daerah masing masing. Namun, di Indonesia ini sangat di membingunkan dengan tata negara itu sendiri. Mengapa demikian? Karena, kita kenal bahwa beberapa daerah yang terdapat di Indonesia merupakan daerah otonomi. Daerah otonomi yang di maksud adalah bebas mengatur daerah, tata daerah dan mengatur sistem pemerintahan sendiri sesuai hukum, atau desentralisasi. Daerah otonomi ini bertentangan dengan sistem pemerintahan presidential, biarpun itu desentralisasi. Mengapa demikian? Dalam undang-undang otonomi khusus di Papua membebaskan daerah otonomi untuk memiliki bendera dan lagu daerah tersendiri. Oleh sebab itu, kita pandang dari tata pemerinthan yang baik (Good Governance) saat ini, Indonesia di kategorikan sebagai negara yang paling terburuk tata negaranya.
Mengapa Tidak Parlementer?

Perlu kita ketahui bahwa Indonesia mempunyai daerah otonomi (desentralisasi). Antaranya Aceh, Jakarta, Yogyakarta dan Papua. Daerah ini di lindungi dengan undang-undang otonomi tersendiri. Diantaranya UU No 11/Tahun 2006 untuk Aceh, UU No 29/2007 Untuk Jakarta, UU No 3 1950 (diubah dengan UU No 19/1950) terus UU No 19/1974, UU No 22/1999 untuk Yogyakarta dan UU No 21/2001 untuk Papua. Hal demikian ini, di buat dengan beberapa alasan yang mendasar. Khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan luas wilayah provinsi yang terkecil di Indonesia, lagi pula menganut sistem pemerintahan monarki. Sistem monarki biasanya dalam suatu negara untuk menata sistem pemerintahan sendiri. Negara yang menganut sistem pemerintahan monarki sebagai berikut: Tailand, Malaisya, Jepang, Samoa dan lain-lain. Dalam hal ini, Negara Indonesia sewenang-wenang memberi otonomi khusus kepada daerah tanpa tidak memperhatikan sistem yang dianutnya. Idealnya akan berdampak pada sistem yang lain. Misalnya dalam sistem pemilihan kepala daerah, yang mana kita sendiri saksikan dalam perdebatan pada mekanisme pemilihan kepala daerah dan RUU pada tanggal 25-26 September 2014 lalu. Dan ditetapkan pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPR tanpa melibatkan rakyat, dari akyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Sehingga ditetapkanya demokrasi perwakilan (parlementer). “Kok dari Pemilihan Presiden hingga Pemilihan Kepala Desa secara demokratis!!!! Tapi, kok pada Pilkada bisa mewakili atau Tak langsung!!!! Hal ini sangat di permalukan.

Apakah Demokrasi Tak langsung, bukan demokrasi?

Tentunya, kita kenal bahwa sistem demokrasi dalam suatu negara, bisa bedakan menjadi beberapa macam yakni demokrasi monarki, demokrasi presidential dan demokrasi parlementer. Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem demokrasi presidential. Presidential merupakan kesamaan antar sistem-sistem. Akhir-kahir ini, pada proses demokratisasi di Indonesia, khususnya dalam pemilihan kepala daerah menjadi perdebadatan besar di kalangan nasional, yang berkaitan dengan penetapan pemilihan tak langsung. Namun dari persoalan ini muncul pertanyaan. Apakah demokrasi perwakilan atau tak langsung bukan demokrasi? Saya kira jelas bahwa dalam politik praktis dan politik teoritis, demokrasi tak langsung juga merupakan demokrasi. Namun, yang dipersoalkan di Indonesia adalah cara dan pola penerapannya dalam suatu pemerintahan atau intansinya. Titik beratkan pada sistem yang dianutnya (demokrasi presidential). Kawatirnya dalam proses pemilihan kepala daerah maupun pemilihan ditingkat nasional, akan terjadi kesenjangan sosial.  

Mengikuti perkembangan pemilihan kepala daerah disetiap daerah di Indonesia berbeda khusunya dalam proses demokratisasi. Namun, kadang kala yang menjadi masalah adalah pengaturan Pemilihan Kepala Daerah oleh Otonomi Khusus, Perdasi dan Perdasus. Misalkan, didaerah Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat.  Representasi dari perundangan tersebut berakibat pada sistem Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia khususnya di Papua. Dengan otonomi dan perundangan lebih membebaskan masyarakat Papua dari sistem demokrasi yang di anut oleh negara itu sendiri.

Lebih pada kenyataan yang ada khususnya di Papua. Masyarakat Papua yang berada di Pegunungan Tengah merupakan ciri pemilihan yang berbeda dengan daerah yang lain. Sistem demokrasi yang mereka biasanya terapkan adalah sistem Noken.

Haruskah Demokrasi Noken di Papua?

Demokrasi noken di Papua merupakan sistem pemungunatan suara dengan menggunakan noken yang di gantikan dengan kotak suara. Sistem noken ini sudah diberlakukan di Pegunungan Tengah Papua, sejak tahun 1970-an hingga saat ini. Beberapa cara yang dikembangkan dalam pemilihan yang di kembangkan di Papua yakni dengan sistem noken dan ikat.

Cara sistem noken dipedalaman mengunakan noken digantikan dengan kotak suara, tidak beda pemungutan suara dengan kotak suara. Sedangkan, sistem ikat ini pemungutan suara atas keputusan bersama, berdasarkan musyawarah anggota masyarakat harus memilih kedua atau lebih calon yang di sepakati bersama.

Sistem noken di Papua, saat ini menjadi perdebatan besar. Perdebatan tersebut, ada dua kemungkinan yang di kemukan oleh publik. Pertama, sistem noken di papua menjadi kebablasan sistem demokrasi di Indonesia. Kedua, sistem noken di Papua harus mempertahankan.

Begini alasanya, sistem noken di papua merupakan sistem yang di lakukan dalam pemungutan suara oleh masyarakat Papua yang secara langsung melanggar proses demokratisasi di Indonesia. Sistem demokrasi yang mengharuskan demikia ini, menentang dengan UU otonomi khusus, budaya orang Papua serta ketetapan MPR. Berdasarkan UU otsus mengharuskan kepada masyarakat Papua untuk mempertahankan budaya setempat sebagai identias dan jati diri Orang Asli Papua. Selain itu, ketetapan MPR tentang penetapan sistem noken di Pegunungan Tengah Papua. Berbunyi “bahwa Mahkamah dapat memahami dan menghargai nilai budaya yang hidup di kalangan masyarakat Papua yang khas dalam menyelenggarakan pemilihan umum dengan cara atau sistem ‘kesepakatan warga’ atau aklamasi”. Sehingga MPR menghargai sistem kebudayaan Papua yang di terapkan dalam pemilihan, meskipun itu menentang dengan sistem demokrasi di Indonesia. Oleh sebab itu, lebih baik dan lebih demokratis untuk rakyat Papua harus memilih sistem noken sebagai mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua itu sendiri.

Bagimana dengan sistem Demokratisasi di Kabupaten Deiyai

Kabupaten Deiyai merupakan kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten Paniai, pada tahun 2008. Terkait dengan pemekaran tersebut Kabupaten Deiyai banyak yang harus di kembangkan dan diperbaiki persoalan yang di tinggalkan oleh kabupaten induk. Masyarakat Deiyai yang terdiri dari 5 kecamatan, sangat berbeda sistem demokrasi/sistem pemilihan dalam proses demokratisasi.

Pada saat masyarakat Deiyai di bawah pemerintah Paniai dan pemerintah Deiyai sangat berbeda. Hal ini terbukti dengan beberapa bidang di kabupaten deiyai. Salah satunya dalam sistem pemilihan. Dahulu kebanyakan masyarakat Deiyai belum mengenal sistem pemilihan Indonesia sehingga dalam pemilihan di laksanakan secara adat dan di politisi oleh elit politik daerah. Meskipun beberapa daerah belum mengenal sistem demokratisasi di Indonesia. Melalui perkembangan secara bertahap, masyarakat lebih memahami apa yang di sebut dengan politik praktis. Dengan demikian, di masa yang akan datang dengan cara edukasi masyarakat Deiyai bisa menyesuaikan dengan sistem di pulau jawa.Namun, mengikuti perkembangan sistem politik Indonesia khusunya di Papua (Deiyai) dapat di pengaruh dengan masalah sosial politik secara horizontal dan vertikal.

Konteks Sosial Politik di Papua (Deiyai)

Konteks ini tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik dan interaksi masyarakat dalamnya. Hal ini, perilaku politik, partisipasi, politik, proses politik. Masyarakat Papua pada umumnya seharusnya melalui proses pendidikan politik dan partisipasi lebih mengenal lebih dalam mengenai  sistem politik Indonesia. Demi terwujudnya demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Persoalan demokrasi untuk masyarakat Papua saat ini, setengah demokrasi sekaligus Indonesia. Mengapa demikian? Tidak kalah kepentingan pribadi yang terpenting dari segalanya. Seperti penetapan pemilihan Kepala Daerah di Indonesia. Bagi masyarakat Papua tanggapan akan hal ini merupakan persoalan yang agap biasa dan persoalan akan berpusat pada elit atau para politikus. Pandangan lain terhadap penetapan RUU pemilihan kepala daerah merupakan masalah bagi orang Papua dan yang sebenarnya bukan solusi. Interaksi masyarakat dalam pemilihan pilpres, pileg dan pilkada selalu menjadi masalah di antara elit politik, masyarakat atau secara bersilangan, khususnya di Papua secara berlebihan dibanding daerah otonomi yang lain.

Pelaksaanan pemilihan langsung dari rakyat juga menimbulkan munculnya persoalan dimasyarakat. Indikator yang penting dan yang harus kita ketahui sebagai berikut: Pertama, terjadi money politics. perilaku yang bersifat material atau money politik dimasyarakat adalah seseorang memilih calon pemimpin bukan karena idenya melainkan berdasarkan pengaruh lingkungan dan pemberian uang dan pengaruh sekitarnya. Bila tejadi seperti ini pola pemilihan di Papua dikatakan sebagai ikut-ikutan. Sehingga masyarakat Papua mudah dipecah belahan oleh rezim Indonesia. Kedua, terjadi jarak antara masyarakat di Papua. Pemilihan dan kecurangan politik mengejolak hingga terpisah antara perekampungan, yang dahulunya bercorak kekeluargaan. Memang kegiatan ini di rencanakan oleh Indonesia untuk memisakan kesatuan dan persatuan Orang Asli Papua di bumi cendrawasih. Ketiga, terjadi korupsi dimana-mana. Seorang yang mencalonkan diri sebagai pemimpin pastinya ada yang mempunya modal dan juga tidak. Yang tidak mempunyai modal dia akan kredit secara besar-besaran kepada yang bersangkutan. Setelah terpilih menjadi seorang pemimpin, dia akan mencari jalan untuk menutup lobang. Jadinya korupsi uang masyarakat. Masyarakat sendiri yang jadi budak atas suara yang di berikanya. Keempat, pelanggaran terhadap hukum yang ada. Dari hukum adat, hukum perdata dan pidana. Masyarakat merupakan dasar hidup yang fundamental yang ada di lapisan masyarakat. Tetapi dengan berbagai persoalan yang berakar dari Indonesia akan terkikis budaya dan tata cara hidup masyarakat Papua yang akan hilang dan memang hal itu sedang terjadi.

Sedangkan, Pilkada tak langsung bagi rakyat tidak menjadi bahan debat. Tetapi, dalam proses demokrasi di Indonesia akan menjadi perdebatan yang cukup besar. Khusunya untuk Papua mengenai pemilihan tak langsung tidak diperlukan yang di persoalkan adalah hak rakyat dalam pemerintahan. Sehingga rasa memiliki masyarakat terhadap pemerintah akan menurun. Namun, di sisi lain masyarakat Papua tidak butuhkan pemilihan kepala daerah secara langsung dikarenakan pemicu munculnya kesenjangan sosial. Sebab itu, mahasiswa (orang muda) masyarakat dan pemerintah. dengan keadaan seperti itu masyarakat dan pemerintah yang harus mengambil yang terbaik antara yang baik.

Tugas Kita?

Orang muda adalah orang yang bisa mengubah nasib rakyat, sekaligus penyambung lidah rakyat. Sebagai orang muda, perlu untuk ketahui masalah apa yang terjadi dan apa yang kita harus buat untuk lebih baik dimasa depan. Dengan itu kita bisa meminimalisir, menaggapai dan mencari solusi, bukan untuk jadi koalisi. Misalkan, mahasiswa Se-Jawa dan Bali yang selalu menyuarakan dan mengkonsep berbagai masalah yang bernilai bagi daerah melalui diskusi bebas, aksi, pengajuan harapan, media masa, ujuk rasa lainya.
Berhubungan dengan politik lokal Papua yang kini menjadi masalah global, konsepan, ujuk rasa dari mahasiswa menjadi perlawanan bagi Indonesia. Namun itu, kiranya kegiatan itu sebagai bukti demokrasi dari mahasiswa itu sendiri.

Harapan demokratisasi di Papua (Deiyai)

Kemajuan kearah yang baik berawal dari rakyat, lembaga-lembaga masyarakat di pedalaman, perkotaan maupun dalam pemerintahan. Sangatlah di perlukan untuk masyarakat Papua khususnya deiyai untuk lebih mengenal, lebih dalam mengenai demokrasi. Meskipun itu tidak bersangkut paut dengan kehidupan masyarakat Papua sehari hari. Baik dalam alam dingkungan sendiri maupun diluar lingkungan. Itulah tugas yang harus kita ketahui secara menyeluruh sebelum kita di politisi oleh elit politik di Indonesia. Harapan demokratisasi di Papua (Deiyai) harus melalui tahapan. Pertama, pemerintah harus mengetahui kembali siapa diri saya dan dari mana asal kemeja putih ini. Kedua, pentingnya aspirasi masyarakat terhadap suatu intansi atau suatu pemerintahan (ruang demokrasi). Ketiga. Pentingnya pendidkikan politik pada masyarakat agar mengetahui kepentingan para penguasa sehingga tidak adanya penindasaan antara penguasa dan masyarakat. Keempat, pengakuan pendapat rakyat tertindas dalam hal milik dan lainya. Kelima, sosialisasi UU, perdasi, persus, PP, pancasila dan lainya. Keenam, pentinnya akuntabilitas, respontibilitas, dan transparansi dalam adminitrasi. Ketujuh, partisipasi masyarakat dalam pemerintahan, dalam artian bahwa kepercayaan masyarakat dalam pemerintahan agar terbagun dan juga rasa memiliki terhadap pemerintahan. Kedelapan, pentingnya revolusi mental di semua bidang.

Referensi:

-----------. 2011. Monarki Yogyakarta, inkontitusional. Jakarta. Kompas
David Beethem dan Kevin Boyle. 2000. Demokrasi : Kanisius edisi bahasa Indonesia
Republik  Indonesia. 2009. Putusan MK tentang perkara Sistem Noken di Papua. Jakarta: Gedung MPR

Republik Indonesia. 2001. Undang-undang otsus. Jakarta: Sekertariat kabinet 

Penulis Mahasiswa Papua Kuliah di Yogyakarta

Sunday, April 12, 2015

Krisis Nilai Budaya Meeuwo di Papua

Oleh: Moses Douw

Nilai budaya di Papua (Meeuwo) menjadi dasar hidup atau filosofi hidup pada zaman dahulu dan pada masa kini menjadi krisis dalam kehidupan, serta kita semakin sering mengabaikan konsepsi Nilai Budaya bersama. Sebab itu, sebelum dari pada kita melalui seharusnya perlu mengetahui apa yang di maksud nilai dan budaya.

Nilai merupakan konsepan mengenai masalah yang mendasar dan yang terpenting serta berharga dan bernilai tinggi dalam kehidupan sosial dari individu hingga kelompok sosial. Sedangkan budaya merupakan akal budi atau hasil cipta dan karsa manusia yang menjadi kebiasaan dalam suatu wilayah. (KBBI). Maka, budaya tidak dapat dipisahkan dari manusia, meski budaya itu adalah hasil manusia. Segala sesuatu yang dihasilkan manusia itu melalui pikiran, perasaan dan kemauannya, itulah yang disebut kebudayaan. Jika terjadi krisis kebudayaan maka sesungguhnya yang harus dicari penyebabnya adalah pada pemikiran, perasaan, dan kemauan manusia itu sendiri. Krisis budaya adalah krisis kemanusiaan. Namun, budaya dan nilai budaya sangat berbeda. Nilai budaya adalah suatu tatanan nilai yang terkandung dalam suatu masyarakat yang berbudaya.

Koteka dan mogee adalah pakaian adat suku-suku Pegunungan Tengah Papua yang berfungsi untuk melindungi tubuh atau sebagai budaya (bukan nilai dari budaya). Tetapi, yang paling penting adalah nilainya. Nilai yang terkandung dalam suatu budaya  atau suku itu sendiri.

Nilai budaya suku MEE di Papua, pada dasarnya hidup diatas kekayaan berpikir. Selalu berlandaskan berpikir sebelum bekerja, berbicara, bercerita, bergaya  dan berbusana. Singkatnya bahwa saya mencukupi makan dan minum dalam kehidupan ini, apabila saya melihat, berpikir dan melakukan. Dengan demikian, tata cara hidup suku MEE di Papua sebelumnya, bahwa mereka memikirkan apa yang akan melakukan? Apa yang akan terjadi di masa mendatang serta efeknya? Dengan itu, masyarakat suku MEE mengetahui dan mewaspadai dengan berbagai cara, agar tidak terjadi persoalan yang membahayakan korban nyawa dan lainya dalam masyarakat suku MEE di Papua itu sendiri.

Sejarah dicatat bahwa, orang MEE dahulu selalu membuat Yuwoo Owa (Rumah Pesta Adat). Sebelum dari pada itu, masyarakat suku MEE merupakan pikiran yang panjang dalam arti bahwa ukuran pemikiran untuk mendeteksi persoalan dini dan masa yang akan datang mengenai pesta adat, agar pada saat pesta adat tidak terjadi krisis ekonomi, sosial dan budaya (Yuwoo noyagako iniya gai beu, keitai beu ekowai beu agiyoko keitetenita note kodo). Berpikir (gai) dalam mengawali rencana merupakan nilai dari budaya suku MEE sehingga suku MEE sangat berbeda jauh dengan suku-suku yang lain di Papua.

Seluruh suku-suku di Papua pada dasarnya terlambat dalam mengikuti perkembangan zaman karena memang Papua adalah masyarakat komunal yang tinggal dan merupakan sistem tersendiri didalamnya, dengan nilai hidup masing-masing. Dengan demikian, dengan adanya berbagai faktor misalnya kebijakan dan globalisasi menjadi ancaman bagi warga masyarakat suku-suku di Papua (Suku MEE).

Dengan perkembangan zaman, masyarakat adat dalam perkembangan menuju masyarakat modern merupakan banyak tantangan yang datang dari luar untuk menghancurkan isi dari suatu daerah khususnya di Papua. Misalkan, masyarakat Papua secara umum nilai sosialisme sangat tinggi antar suku, kelompok dan antar daerah dipedalaman, tetapi pada perjalanannya nilai sosialismenya menghilang begitu saja dengan berbagai kegiatan dan kebijakan Indonesia di Tanah Papua termasuk nilai pancasila (Bineka Tunggal Ika).

Dengan adanya itu, Papua khususnya Meeuwo saja di petakan menjadi Paniai, Dogiai dan Deiyai. Di samping itu, beberapa kabupaten yang berada di Meeuwo kini dikuasai dengan berbagai persoalan internal. Contoh: Togel, dadu serta program pemerintah yang menurunkan Beras JPS (Jaring Pengaman Sosial) yang memudahkan masyarakat terisolasi dengan faktor dari luar. Kita tahu bahwa dengan adanya bantuan dari pemerintah akan membuat masyarakat tidak bekerja, hidupnya instan. “Wah” disitu kami kehilangan ideologi hidup masyarakat suku MEE di Papua, yang dalamnya mengajak kita untuk berkerja.

Dengan tantangan itulah mengajak kepada kita bagimana menghadapi arus globalisasi? Tentunya bahwa kita memegang kembali nilai hidup sesuai dengan tata cara yang berlaku disuatu daerah kita agar mengantisipasi terjadinya krisis nilai budaya karena akan berpengaruh dengan krisis kemanusian suku MEE di Papua.

Manusia seharusnya kembali ke prinsip dasar manusia, agar potensi manusia menjadi seimbang serta menjaga dan mengangkat kodrat manusia sejati guna mencapai masyarakat yang berbudaya. (Marxisme: Hak Masyarakat Kultur; hal: 63)

Kadang kita, lupakan dasar hidup suku MEE di Pegunungan Tengah Papua yang teratur sebagai dasar yang melandasi tata cara hidup suku MEE. Seperti negara Indonesia yang melandasi Pancasila sebagai dasar negara. Ingatlah akan dasar hidup suku MEE!

Sebab demikian, filosofi hidup orang suku MEE merupakan suatu cakupan yang kembali kepada kesadaran kita (kelompok sosial, kelas sosial dan individu) dengan dasar hidup yang dalamnya berbunyi DOU, GAI dan EKOWAI. Artinya bahwa bila kita sudah mengetahui dengan indra kita, harus berpikir, agar kerjanya sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Disamping itu, banyak nilai dari adat dan budaya yang kita punyai. Misalkan: Konaiyo teduaii, yagamoo yoka modogako artinya bahwa dilarang potong kumis sementara istri hamil. Nilai budaya seperti ini yang kita perlu jaga dengan tujuan untuk menjaga kelestarian nilai budaya dan melalui nilai budaya suku MEE, kita bisa menentang budaya dari luar yang datang membawa krisis kemanusian di Papua. (Buletin Woogada Wookebada)


Referensi:
Solaeman M. Munandar. 2001. Ilmu Budaya Dasar (Suatu Pengantar). Bandung. PT Rafika Aditama

Silitonga M. Sabar. 2013. Krisis Nilai Budaya. Jakarta. JUPIIS
 
Copyright © 2013 Menongko I Ekspresi Hati
Design by MOSES | DOUW