BREAKING
Stop Kekerasan di Papua Barat

Monday, April 30, 2018

Pengelolaan Dana Desa dan Masa Depan Kampung di Papua

Oleh: Moses Douw

Negara Indonesia yang menganut sistem pemerintahan demokrasi, dalam pembangunannya berdasar hukum untuk mengejar tujuan negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, Alinea ke-Empat, Pancasila, Bineka Tunggal Ika serta NKRI. Dengan itu, walaupun negara Indonesia  membentuk pemimpin negara sehebatpun, alias pemimpin demokratis dan berazaskan hukum negara, namun sampai kapanpun negara Indonesia tidak pernah sekalipun mewujudkan negara yang adil dan sejahtera dalam proses pembangunan dan perubahan zaman. 

Pada sebelum adanya perundangan dana desa, Negara Indonesia terus merekrut dan menjadi actor terus berada dalam kemiskinan, penindasan, pembunuhan, dan marginalisasi serta konsumtif dan lebih khusus dalam ambil mengikuti negara-negara lain yang cepat berkembang dan maju dalam arus perubahan jaman walaupun kekayaan alam nergaranya sedikit tetapi mereka berpatuh pada sistem negaranya entah sistem negaranya komunis, otoriter, kapitalis sekalipun, alias mudah mengatur  dan beberapa hal yang menjadi penentunya.

Suprihadi Kepala Dusun di salah satu Pedukuhan di Gunung KiduL, dalam pertemuan dengan penulis menyatakan bahwa “Negara belum pernah ada dalam pembangunan desa khususnya di sektor pertanian, infrastrktur, perikanan secara umumnya pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Hal ini, yang terus kita rasakan di Jawa, sehingga pandangan saya tidak menyamakan dengan daerah lain di Indonesia. Namun adanya dana desa dari Negara merupakan hal yang baru yang patut kita kelola hingga bermanfaat  selebihnya untuk tujuan Negara”.

Pengelolaan dana desa di Indonesia telah digunakan untuk sebesar besarnya pada tujuan dari dana desa yang di amanatkan dalam UUDes. Menurut UU Desa, dana desa digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur fisik (seperti jalan), sarana ekonomi (seperti pasar), sarana sosial (seperti klinik), serta untuk meningkatkan kemampuan berusaha masyarakat desa. Tujuan akhirnya adalah mengurangi jumlah penduduk miskin, mengurangi kesenjangan kota-desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan.

Namun, pengelolaan dana desa di Papua telah mengalami kegagalan sangat tajam dan tidak tepat sasaran. Hal-hal mendasar yang menjadi faktor penghambat, alasan dan sulitnya pengunaan dana desa di Papua dalam mencapai tujuan undang undang desa No 06 Tahun 2014 adalah pertama: Papua adalah wilayah terlalu luas dan lebih parahnya sulit di jangkau sebab gunung dan lembah; kedua: Papua adalah  daerah yang rata rata belum mengetahui cara pengelolaan dana desa dan jumlah penduduk yang tersebar di Papua belum berpendidikan sehingga masyarakat belum bisa mengelola dana desa sesuai dengan asas asas pengelolaan dana desa. Dan lebih sayangnya Kepala Kampung dan aparatur Kampung di Papua belum mengenal sistem pengelolaan dana desa; ketiga: Lemahnya kontrol pihak pengawas jalanya pengelolaan dana desa di Papua sehingga mempermudah tindakan KKN bagi lembaga pemerintahan desa dan supra desa serta lemahnya peneggakan hukum dari masyarakat dalam menjaga adanya penyelewengan dana desa; keempat: Lemahnya pendamping dana desa dan Dinas DPMK dalam mengawal dan menjadi tulang punggung pengeolaan dana desa di Papua; kelima: adanya pemotongan dana desa dari DPMK di Kabupaten/Kota dengan berbagai alasan.

Hal-hal seperti ini perlu dipertimbangkan bagi  pemerintah daerah dan negara karena undang undang desa dibuat untuk sebesar besarnya pembangunan kampung di Papua. Bukannya pengawas dan pendamping hadir dalam penyelewengan dana desa di Papua serta pemerintah desa di Papua seenaknya mengunakan uang tanpa adanya RKPDes dan APBDes karena Undang-undang desa dibuat untuk benar-benar membangun masyarakat yang sejahtera dan masyarakat mampu bersaing dengan orang Non-Papua dari sisi pembangunan ekonomi industri dan produksi.

Maka dari itu, pengeolaan dana desa merupakan proses penggunaan dana desa dengan program yang direncanakan dalam RKPDes dan APBDes melalui musdus (apabila di Papua musyawarah RT) dan musdes (musyawarah desa) yang merupakan forum tertinggi dalam pengamilan keputusan di tingkat RT dan desa yang musti di dampingi oleh pendamping dana desa di Papua.

Pendamping Desa dan Masa Depan Kampung di Papua

Tidak menutupi kemungkinan bahwa Pendamping desa di Papua selalu hadir mendampingi kepala desa dalam upaya menyelesaikan proses proses pengelolaan dana desa sesuai dengan undang undang desa yang mana telah di atur dalam undang undang desa bahwa “Program Pendampingan Desa merupakan amanat UU. Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Untuk menjalankannya, Pemerintahan Pusat menggunakan asas dekonsentrasi, yaitu satu dari tiga asas Pemerintahan Daerah. Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Dekonsentrasi juga bisa diberikan kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. Dalam rangka dekonsetrasi, Presiden Jokowi telah mengeluarkan Perpres Nomor 12 Tahun 2015, sebagai dasar Kementerian Desa menjalankan program Pendampingan Desa.
Berdasarkan itu, pendamping desa mampu memberikan yang terbaik untuk Tanah Papua dalam pengelolaan dana desa di Papua. Penggunaan Dana Desa Harus dikawal dan didampingi dengan ketat, agar tujuan pencairannya, yaitu dalam upaya mempercepat pertumbuhan dan pembangunan kampung dalam rangka mengatasi berbagai persoalan diatas tadi, agar dapat tercapai dengan sukses. Sebab, pendamping desa yang di amanatkan dalam Pepres No 12 Tahun 2015 tentang pendamping desa seharusnya mampu menjadi, “fasilitator penetapan dan pengelolaan kewenangan,  penyusunan dan penetapan peraturan, pengembangan kapasitas bagi aparatur kampung, demokratisasi kampung, kaderisasi kampung, pembentukan dan pengembangan lembaga kemasyarakatan kampung, ketahanan masyarakat desa melalui penguatan atau pelatihan dan menjadi asiitator dalam mendampingi proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan desa.

Didasarkan perkembangan perkampungan di Papua memang sangat tertinggal di bandingkan dengan daerah lain di Indonesia sebab banyak kekurangan serta masalah yang menjadi pengahambat serta budaya dan karakter hidup orang Papua yang sangat bermacam macam. Hal ini juga di ungkapkan juga oleh Intelektual muda Deiyai  Donatus Mote bahwa “kampung-kampung banyak tersimpan masalah karena karakter hidup masyarakat sangat beragam”. Sehingga berdasarkan tugas pokok yang di lakukan pendamping dan DPMK adalah menjalankan amanah Pepres No 12 Tahun 2015.

Pendamping Kampung di Papua seharusnya menjadi solusi atas masalah pembangunan sebab itulah pengabdian yang sangat mulia yang di limpahkan berdasarkan talenta yang di miliki.  Oleh Karen itu, ketika kita bandingkan dengan beberapa daerah di Indonesia maka  Papua sangat secara langsung pengelolaan dana desa hanya 5 % sehingga Dana desa hanya sekedar dana yang tak ada manfaatnya. Secara umum, pengelolaan dana desa di Papua sukses di bidang pembangunan (Kantor desa, bangun Gereja, Bangun Jalan , Jembatan dan pengadaan barang). Pada hal dana desa di kucurkan untuk Pembangunan dan pemberdayaan.

Masih menjadi kendala dalam pengelolaan dana desa di Papua adalah pemberdayaan masyarakat kampung. Ketika Penulis mengabdi di Desa Songbanyu, Kecamatan Girisubo, Gunung Kidul-Yogyakarta, penulis membentuk dan sosialisasi sistem dan cara baru dalam pengelolaan dana desa dalam pemberdayaan masyarakat kampung  adalah membentuk masyarakat desa di Songbanyu dalam beberapa kelompok yakni kelompok tani, kelompok Ternak,  Keompok Perikanan, kelompok Kerajinan dan lainya. Hal ini upaya yang Penulis lakukan untuk pemberdayaan masyarakat dan masih banyak cara yang kita lakukan berdasarkan potensi desa atau kampung yang di miliki.

Maka dengan demikian, berdasarkan pengabdian Penulis di Desa Pagerharjo dan Songbanyu di Yogyakarta sehingga Penulis merupakan beberapa masukan untuk pengelolaan dana desa di Papua untuk masa depan yang lebih baik adalah sebagai berikut: Pertama: DPMK dan pemerintah daerah di Papua memberikan pemahaman dan pelatihan khusus untuk pengelolaan dana desa; kedua: Pengawasan Dana desa dari Inspektorat dan pihak bertanggungjawab harus fokus memberikan pelatihan penggunaan dana desa dengan proses perencanaan hingga pemanfaatan hasil. Ketiga: Pendamping desa harus menjadi fasilitator dalam pengelolaan dana desa di Papua, keempat: Pendamping desa harus menjadi Agen perubahan dalam pengelolaan untuk mengayomi kepala kampung dalam perencanan hingga pemanfaatan hasil; Kelima: Perangkat desa harus menjadi aktor dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat kampung di Papua. Keenam: Pendamping Desa harus membentuk masyarakat dalam berbagai kelompok atau di bentuk Kaur kaur untuk pengerak pembangunan dan pemberdayaan masyarakat kampung.

Oleh karena itu, hal diatas ini menjadi solusi dalam semua persoalan dan penyelewengan dana desa di Papua. Sebab penentu dalam pengunaan dana desa adalah pendamping dan dinas terkait di Papua. Agar membentuk masyarakat dengan karakter membangun, Karakter mandiri dan karakter produktif.


Penulis Mahasiswa Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta

Monday, April 23, 2018

Gizi Buruk dan Campak Bukan Warisan Orang Papua

Oleh: Moses Douw
doc.pengabdian masyarakat di Purworejo. int

Gizi buruk adalah gangguan kesehatan akibat kekurangan atau ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, aktivitas berfikir dan semua hal yang berhubungan dengan kehidupan. Gizi kurang banyak terjadi pada anak usia kurang dari 5 tahun. Gizi buruk adalah kondisi gizi kurang hingga tingkat yang berat dan di sebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama, (Khaidirmuhaj, 2009). Sedangkan, campak adalah penyakit menular yang ditularkan melalui rute udara dari seseorang yang terinfeksi ke orang lain yang rentan (Brunner & Suddart, vol 3, 2001). Wikipedia

Penyakit campak dan kurang gizi merupakan sebuah penyakit baru yang mulai muncul ketika adanya otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Kurang gizi dan penyakit campak muncul tanpa akibat dan sumber yang jelas dan belum ada sebuah penelitian laboratorium yang menjelaskan bahwa akibat kematian anak dari penyakit ini.

Sebutan campak dan kuranh gizi merupakan sebuah diskriminasi sosial dan doktrin yang di bangun orang luar Papua. Doktrin yang dibangun berdasarkan situasi lingkungan, ekonomi, politik dan letak Geografis. Di lihat bahwa kematian anak di Papua di kategorikan dalam situasi lingkungan dan letak geografis karena Papua daerah yang masih belum terisolasi dari semua bidang. Kemudian, dari pandangan Ekonomi gizi buruk muncul karena kurang asupan gizi seperti kurang adanya makanan berkemasan.

Doktrin Inilah yang dibangun ilmuan dan pandangan orang Non-Papua di Papua sesuai dengan kondisi lingkungan, ekonomi, Politik dan letak geografis untuk kategorikan penyakit dan kematian anak yang setiap tahun meningkat ini. Pandangan orang non-Papua untuk kategorikan kematian anak di Papua itu sangatlah penting untuk membutuhkan laboratorium khusus untuk tes penyebab kematian.

Dengan demikain, penyakit campak dan kurang gizi ini bentuk baru kematian yang diderita oleh orang Papua. Dalam sejarah, perkembangan kesehatan di NNG (Netherlands New Guinea) atau Papua pada zaman Belanda yang di tulis oleh Romaida Sinaga bahwa adanya penyakit kematian orang Papua hanya tiga pintu yakni kematian dengan Perang Suku, Kelaparan dan Malaria atau Serangan Serangga lainya.

Malah sangat di pertanyakan kematian anak di Papua karena penyakit yang di derita sangat tidak membuktikan kebenaran secara resmi. Kematian anak di Papua ini pun tidak tepat bagi Papua karena orang Papua yang tinggal di Papua bukan dari beberapa abad saja. Namun, orang Papua tinggal di Papua selama berabad abad. Orang Papua sudah lama tinggal berkebun, berburu, nelayan dan lainya di Bumi Cendrawasih dengan menonjolkan alam sehingga penyakit ini tidak pernah di derita oleh orang Papua.

Penyakit ini apakah pernah di derita oleh orang Papua pada sebelumnya? Namun yang yang jelas bahwa berdasarkan bukunya Romaida Sinaga menjelaskan bahwa kematian orang Papua dari Kelaparan khususnya beberapa suku yang berpindah-pindah tempat. Sehingga dikatakan bahwa “Campak dan Kurang Gizi Bukan warisan Orang Papua”.

Kematian Anak di Papua Sangat di Pertanyakan
Kematian anak di Papua menjadi sebuah trending topik di seluruh dunia. Kematian anak di Asmat mencapai 60 anak yang menjadi anak bangsa Papua yang merupakan generasi penerus. Banyak pertanyaan muncul di berbagai media sebagai berikut, bagaimana kontrol dan pengawasan dana kesehatan Kabupaten Asmat? Penyakit apa yang seharusnya di derita oleh Orang Papua? Kemudian, muncul pertanyaan baru lagi dari Belanda bahwa Bagaimana kontrol dan lintas kesehatan di Papua Oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia?

Dana yang bersumber dari APBD, APBN dan otonomi khusus Papua di Asmat menjadi topik di tinggkat provinsi Papua. Sebab dana yang di realisasikan di Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat lebih besar di banding daerah lain. Namun dana yang besar itu, tidak membuahkan hasil yang baik atau tidak tepat sasaran. Ini menjadi tanggung jawab negara dalam proses hukum, pengelolaan keuangan yang bersumber dari APBD, APBN dan otonomi khusus ini. Partisipasi negara dalam pengelolaan dan mencatat hasil realisasi dana sangat minim sehingga lembaga KPK dan negara sangat tidak adil dalam alokasi realisasi dan pertanggungjawaban dana di Papua.

Sedangkan, dari kaum akademisi, mahasiswa dan pro-demokrasi memberikan sebuah kecurigaan mereka melalui pertanyaan tadi bahwa penyakit apa yang diderita orang Papua? Ini sangat benar berdasarkan penjelasan tadi bahwa penyakit yang muncul adalah selalu berpindah-pindah hanya di seluruh Papua. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa daerah lain di Indonesia, tidak menderita penyakit campak dan gizi buruk, dengan jumlah yang banyak dan itu hanya di Papua. Apakah itu penyakit warisan dari Tuhan untuk orang Papua? Secara logika, kita berfikir bahwa penyakit yang di sebarkan di Papua ini adalah sebuah penyakit buatan untuk pemusnahan etnis melanesia karena penyakit ini, sepanjang peradaban orang Papua di Bumi Cendrawasih tidak pernah ada penyakit ini pula.

Kemudian, adanya pertanyaan yang di lansir dari media AWPA Sydney bahwa Belanda kembali kritik Pemerintah Indonesia khususnya Pemerintah Pusat. Kritikan yang disampaikan adalah mengapa belum ada Program Ekspedisi Kesehatan di Tanah Papua. Belanda menyampaikan kritik sebab, selama Belanda di Papua dalam sebulan ada ekspedisi kesehatan yakni dengan mengecek kesehatan bagi orang Papua di pelosok hingga di pusat kota Afdeling.

Dengan penjelasan diatas ini menjadi sumber utama dalam adanya Penyakit yang mematikan di Tanah Papua yang selalu berpindah-pindah di seluruh tanah Papua yang tidak pernah ada di seluruh Indonesia. Sehingga praktek seperti ini adalah sebuah perjuangan mulia yang dijalankan oleh pemerintah pusat dalam menguasai berbagai upaya pemusnahan etnis melanesia.

Gizi Buruk dan Campak Menjadi Alasan
Sejarah perkembangan orang Papua pada sebelumnya telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Orang Papua pada awalnya mereka tinggal berabad-abad di hutan belantara yang sangat menonjolkan aspek kehidupan dari alam yang hanya di konsumsi. Berdasarkan Rosmaida Sinaga dalam bukunya menjelaskan bahwa tanah Papua sebelum disentuh dari negara lain seperti China, Belanda, Jepang dan Indonesia mereka mempunyai sistem kehidupan tersendiri.

Sistem kehidupan manusia Papua sangat unik dengan sistem pengunaan bahan alam secara lokal dan hanya sebatas memenuhi kebutuhan dasar keluarga dan kelompok sosial. Karena dengan sistem kehidupan itulah yang menjadi tolak ukur manusia Papua masih hidup hingga pada saat ini. Orang Papua berabad-abad tinggal namun tidak mati habis dengan campak dengan gizi buruk, sebab tidak mati dengan kekurangan alat medis dan tenaga medis.

Sehingga adanya proyek-proyek dibalik kematian anak-anak di Asmat. Proyek yang di buat pemerintah pusat dan pemerintah daerah degan kapitalis. Seakan negara didirikan untuk kemauan dan kebetulan untuk mencari nafkah di Papua.

Proyek-Proyek yang diwacanakan adalah kepentingan Ekonomi, Politik Pemilukada. Wacana kepentingan ekonomi adalah adanya tambang emas dan sumber alam lainya untuk eksploitasi sehingga adanya relokasi warga sebagai alasan antisipasi perpindahan penyakit dengan yang belum kena penyakit, namun adanya tujuan khusus untuk eksploitasi emas di Asmat.

Sedangkan, kepentingan politik Pemilukada adalah membuat sebuah pencitraan dari pemerintahan pusat dan provinsi untuk lahan basis utama dalam pendapatan suara terbanyak. Penulis menganalisis bentuk masalah dan penyakit yang di derita masyarakat ini penyakit buatan yang di buat oleh pihak politikus. Sebab, setelah terjadi kematian anak di Asmat presiden Jokowi menari diatas kematian anak di Asmat sebagai promosikan diri sebagai awal kampanye politik. Tidak hanya Jokowi Elit atau bakal calon Provinsi Papua pun menari diatas kematian anak di Asmat dengan memberikan bantuan.

Hal seperti demikian menjadi tanggung jawab mereka namun, masyarakat umum menilai bahwa adanya kepentingan politik pemilihan presiden di tahun 2019 dan pemilihan gubernur Provinsi Papua. Hal ini di jawab dengan sejauh mana perhatian pemerintah pusat di Bidang Kesehatan sebab Belanda di beri kesempatan untuk mengembangkan orang Papua dari tanahnya sendiri.

Oleh karena itu, penyakit mematikan yang di sebarkan di Papua adalah penyakit buatan  yang hanya untuk  pemusnahan etnis melanesia dan hanya untuk kepentingan tertentu. Sehingga pemerintah daerah di Papua harus berada pada garda terdepan untuk membebaskan masyarkaat dari semua penyakit sosial di Papua yang sengaja di sebarkan ini. Maka, pemerintah harus keluar dari rana aktor kemiskinan, penindasan, pembunuhan, dan marginalisasi serta konsumtif



Penulis adalah mahasiswa Papua Barat kuliah di Semarang

Friday, April 20, 2018

Kedatangan Jokowi Menghambat Pertumbuhan Ekonomi Orang Asli Papua

Oleh: Moses Douw

Pertumbuhan ekonomi adalah hal yang penting dalam masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dalam hidup bermasyarakat serta meningkatkan pendapatan keluarga. Pertumbuhan ekonomi merupakan kunci utama untuk membuka pintu pendapatan bagi keluarga serta dalam hidup berbangsa. Secara teoritis pada pertumbuhan Ekonomi merupakan suatu proses yang di lalui oleh masyarakat komunal yang terstruktur.

Proses perkembangan atau pertumbuhan ekonomi pada intinya merupakan proses dimana masyarakat komunal memproduksi barang, dan kemudian digunakan oleh masyarakat sendiri dan pula mendistribusikan. Memproduksi dan mendistribusikan barang adalah sebuah usaha yang membutuhkan perkembangan dalam proses  masyarakat mulai mengetahui dan mengenal cara mengahsilkan barang jadi.

Aliran teori historis yang di kemukakan oleh beberapa tokoh pun demikian. Friederich List (1789–18456) perkembangan ekonomi ditinjau dari teknik berproduksi sebagai sumber penghidupan. Tahapan pertumbuhan ekonominya antara lain: masa berburu, masa beternak atau bertani, masa bertani dan kerajinan, masa kerajinan industri dan perdagangan. Hal ini adalah sebuah proses dimana masyarakat belajar berdasarkan tahapan perubahan perekonomian.

Pasa dasarnya manusia yang mendiami di bumi ini merupakan cara bertani yang unik yang dimiliki oleh setiap suku, ras, bangsa di bumi ini. Manusia yang berdiam di Nusantara (nusa antara dua benua dan dua samudra) merupakan masyarakat bercocok tanam yang hanya memproduksi untuk mengonsumsi pada tingkat dasar rumah tangga. Manusia di bumi Indonesia belum mampu dan mengenal pentingnya pertanian industri. Namun, dalam proses pertumbuhan perkembangan penjajahan di Nusantara menjadi dasar dalam perkembangan pertumbuhan Ekonomi.

Ketika Belanda menduduki Indonesia adanya kerja paksa untuk menjadikan orang Indonesia menjadi pekerja kasar atau buruh kasar dalam sistem pertanian belanda. Sistem pertanian di daerah kolonial lebih pada penguasaan potensi alam atau istilanya adalah rempah rempah. Kedatangan bangsa eropa di Indonesia hanya dengan kepentingan dengan mengajarkan proses.

Dan pada saat itulah masyarakat Indonesia mengenal dan belajar lebih dalam berkaitan dengan sistem pertanian industri dan ekonomi makro. Tak terbatas pada itu masyarakat Indonesia khususnya di Jawa pula mampu bersaing di Dunia dengan proses penjajahan yang di laluinya pada masa kolonial Belanda.

Pada sebelumnya masyarakat jawa sangat mengenal dengan sistem kapitalisme di tanah jawa dan tidak hanya mengenal mereka sendirilah yang menjadi buruh kasar dalam sistem pertanian industri sehingga penguasan ekonomi orang jawa dan pulau lain sangat tinggi di banding Orang Papua. Tahapan pertumbuhan atau perkembangan ekonomi menurut Werner Sombart adalah zaman perekonomian tertutup, zaman perekonomian kerajinan dan pertukangan, zaman perekonomian kapitalis (Kapitalis Purba, Madya, Raya, dan Akhir). Zaman ini masyarakat Jawa telah di lewati dengan mempelajari penguasaan Ekonomi Kapitalisme.

Kini menjadi sebuah perbandingan besar bagi orang Papua dan keberadaan Indonesia di Papua adalah sebuah ilusi dan sebuah cerita yang menarik untuk kita amati dari berbagai perspektif dengan tidak mengucilkan unsur unsur variabel antara Indonesia dengan provinsi Papua.

Pertumbuhan Ekonomi Orang Asli Papua dan Non-Papua

Berdasarkan penjabaran di atas sangat jelas bahwa Pertumbuhan Ekonomi yang pada dasarnya adalah keadaan dimana manusia memproduksi dan mengonsumsi seiring dengan proses kegiatan pembelajaran dari tinggkat perkembangan manusia.

Dengan demikian perlu kita ketahui bahwa dengan proses penjajahan dari kolonia belanda di Indonesia sangat berpengaruh dalam pertumbuhan Ekonomi. Rentan waktu penajajahan Belanda di Indonesia bagian barat berkisar 3 abat yang mana mempelajari sistem pertanian industri jangka panjang. Sedangkan, Pulau Papua tidak sampai 1 abad. Belanda menjajah Papua tidak hanya mengeksploitasi namun mengajarkan proses pertanian jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek.

Dalam buku Rosmaida Sinaga (3013) Masa Belanda di Papua selama 1898-1962 perluasan pengaruh Belanda dalam pemerintahan kolonial adalah terciptanya keamanan,, tersedianya sarana prasarana,  terbentuknya pelayanan (pendidikan, kesehatan, tata kelolaan lingkungan dan pemerintahan) dan perubahan ekonomi masyarakat setempat. Perubahan ekonomi masyarakat setempat di tandai dengan adanya perubahan di bidang pertanian, dan megembangkan usaha kecil menengah di Papua. Tak hanya itu, perkembangan kampung di hadirkan dengan adanya berbagai kemampuan dan mulai mengenali aspek ekonomi yang kemudian di kembangkan dalam bentuk koperasi dan lainya hingga Tahun 1990-an.

Namun, dalam perkembangannya Papua berhasil Aneksasi kedalam Negara Indonesia yang kemudian semua dampak dan pengaruh baik dari pemerintah Belanda berhenti. Sehingga perkembangan orang Papua dalam Negara Indonesia hanyalah sebuah objek yang tidak di kembangkan. Ketika itulah pukul mundur pertumbuhan ekonomi Orang Asli Papua.

Orang Asli Papua dan Orang Non-Papua adalah pemilik tanah Papua namun OAP adalah pemilik hak ulayat tanah adat Papua sedangkan orang non Papua adalah migrasi dari Pulau lain di Indonesia. Secara proses perkembangan pertumbuhan ekonomi orang Asli Papua masih Pada tahap bertani, berburuh dan beternak hanya pada konsumsi keluarga atau kesejahtraan keluarga.

Imigran di Tanah Papua pada sebelumnya telah melewati berbagai proses pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Hal ini akibatnya mengusai Tanah Papua dengan Industri skala local dan pertanian industri. Pertanian industri skala Nasional di Merauke seperti MIFFE yang membuka daerah isolasi tanpa adanya seizin orang asli Papua.

Pertumbuhan ekonomi Orang Asli Papua dan Non-Papua di tentukan dengan berjalannya masa penjajahan Belanda di Indonesia dan Belanda. Namun, lebih rentan mendapatkan dampak positif dan pengaruh positif dari penjajahan adalah Jawa dan beberapa Pulau di Indonesia. Sedangkan Orang Papua tidak mendapatkan manfaatkan sebab, rentan waktu sangat singkat di banding daerah lain.

Sehingga Orang Asli Papua kini berada pada tingkat pengelolaan ekonomi klasik atau pada sistem ekonomi tinggi. Orang asli Papua masa kini hanya memanfaatkan alamnya namun belum bisa mengelola ekonomi industri jangka panjang. Tetapi, pertumbuhan ekonomi Non-Papua sangat pesat di Papua dengan menguasai semua sudut sudut ekonomi. Maka kini yang menjadi pertanyaan dari penjabaran diatas ini adalah bagaimana langkah yang diambil Jokowi dalam Pertumbuhan Ekonomi Orang Asli Papua? Apakah kunjungan-kunjungan yang belaka dan ataukah mampu membangkitkan Ekonomi Orang Asli Papua?

Kedatangan Jokowi menghambat Pertumbuhan Ekonomi

Kedatangan Jokowi di Papua merupakan kunjungan kerja yang patut masyarakat dan pemerintah provinsi Papua apresiasi dengan bentuk kepeduian dari Presiden Jokowi yang sangat dekat dengan orang Papua. Kunjungan presiden di Papua sangat terharuh. Namun pada prosesnya kunjungan presiden ini di nilai dari baik dan juga buruk dari berbagai pihak serta organisasi.

Di Pandangan akademisi dan mahasiswa kedatangan jokowi merupakan tidak menyelesaikan masalah social, ekonomi, politik dan pemerintahan di Tanah Papua. Secara spesifik masalah sosial, ekonomi dan politik tidak di selesaikan dengan baik dan masih menjadi masalah kemanusian dan sosial di Tanah Papua.

Dengan kedatangan Jokowi di Tanah Papua sangat mengesampingkan persoalan yang sebenarnya masyarakat Papua alami. Persoalan utama orang Papua pada saat ini alami seperti pertama masalah marjinalisasi dan efek diskriminasi terhadap Orang ASli Papua (OAP) akibat pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi massal ke Tanah Papua sejak Tahun 1970.

Kedua, lanjutnya, kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga, kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta, serta keempat, soal pertanggung-jawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Tanah Papua.

Berdasarkan kutipan TEMPO.CO Presiden Jokowi menegaskan akan membuka isolasi daerah dengan membangun infrastruktur di Papua seperti jalan Trans Papua, jembatan, pelabuhan, bandara dan konstruksi lainnya bertujuan untuk memudahkan akses dan mobilitas orang Papua dari satu area ke area lainnya. Hal ini secara, umum patut kita apresiasi namun apakah dengan infrastruktur pertumbuhan Orang Asli Papua?

Namun, dengan membuka daerah isolasi yang diwacanakan JOKOWI adalah sangat mengundang multiproblem bagi orang asli Papua. Bahkan membuka jalan bagi kapitalis untuk mengeksploitasi bagi Alam Papua. Tidak hanya ini, akan adanya mobilisasi umum dari Jawa dan daerah lain ke Papua. Kejadian seperti ini terjadi kapan orang Papua itu di Bangun?

Disisi lain, yang di lansir dalam tabloidjubi.com kunjungan Jokowi yang sering dilakukan di Papua menggarisbawahi kegagalannya memenuhi janjinya untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia di provinsi timur. Jika Jokowi terus mengabaikan upaya untuk menyelesaikan kasus, komitmennya dalam mengembangkan Papua akan menghadapi ketidakpercayaan yang besar oleh orang Papua.

Pertumbuhan Ekonomi yang sebenarnya adalah Hubungan dengan Kapasitas manusia, harkat manusia, pengetahuan manusia dan perkembangan manusia. Bukan pertumbuhan akan ada dengan pembangunan infrastruktur dan lainya yang di wacanakan oleh presiden Jokowi.

Maka itu. pertumbuhan atau perkembangan ekonomi di nilai dan di klasifikasi dengan berapa banyak manusia orang asli pupua yang bebas dari ketidak tahuan tentang ekonomi.

Solusi Pertumbuhan Ekonomi Bagi Orang Asli Papua

Dengan demikian, berapa banyak kunjungan kerja Jokowi di Tanah Papua tak akan pernah mengatasi masalah pertumbuan ekonomi bagi orang asli Papua apabila tidak secara irit menyelesaikan faktor faktor penghambat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Tanah Papua.

Oleh Karena itu, untuk menumbuhkan pertumbuhan ekonomi Orang Asli Papua yang di Wacanakan dengan teori Wolt Witman Rostow dan Werner Sombart tentang pengembangan orang asli dengan migran maka yang harus di perhatikan untuk Papua dan Orang Asli Papua  adalah sebagai berikut:

Pertama: masalah marjinalisasi dan efek diskriminasi terhadap Orang ASli Papua (OAP) akibat pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi massal ke Tanah Papua sejak Tahun 1970. Kedua, lanjutnya, kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat.

Ketiga, kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta
Keempat, soal pertanggung-jawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Tanah Papua.


Daftar Pustaka
Sinaga, Rosmaida. 2016. Masa Kuasa Belanda di Papua (1898-1962). Jakarta. Buku Kita
www.braind.id/agenda-kunjungan-presiden-jokowi-ke-papua-barat-dinilai-tidak-jelas di Unduh 19 Apri 2018
Douw. Moses. 2013. Pertumbuhan Ekonomi di Desa Diyai. Nabire. Karya Ilmiah


Penulis adalah mahasiswa sedang kuliah di Semarang

Friday, April 6, 2018

Resensi: Kibarkan Sang Bendera Makanan


Judul          : KIBARKAN SANG BENDERA MAKANAN (Gerakan Pemulihan Habitat Untuk Membangun Martabat Hidup Orang Papua Proto)
Penulis        : Nason Pigai
Tahun Terbit: 2015
Resentor     : Moses Douw

 “Gerakan Pemulihan Habitat Untuk Membangun Martabat Hidup Orang Papua Proto”
Nason Pigai mantan kepala distik Kamuu Utara yang kini sedang menjabat sebagai kepala bidang pengembangan usaha perikanan di dinas peternakan dan perikanan kabupaten Dogiyai menuliskan sebuah buku “KIBARKAN SANG BENDERA MAKANAN. Gerakan Pemulihan Habitat Untuk Membangun Martabat Hidup Orang Papua Proto”

Lewat bukunya, penulis ketegahkan beberapa pendekatan sebagai acuan dalam gerakan pemulihan habitat yang terbangunnya martabat hidup orang Papua Proto melalui spirit bertani.
Menurut Nason, dikatakan pemerintah yang mandiri, gereja yang mandiri, keluarga yang mandiri, masyarakat yang mandiri dan seterusnya indikator pertama harus diukur dengan keotonomian pangan, karena efek makananlah manusia menjadi sehat, cerdas, beriman, berada, tentram damai dan seterusnya.

Lebih lanjut, penulis dapat menjelaskan dalam ulasannya bahwa; salah satu materi atau sarana ciptaan Tuhan yang sangat aktif berperan dalam hidup dan kehidupan manusia dari bentukan janin dalam rahim ibu hingga ke liang lahat adalah makanan.

Manusia terbentuk karena makanan, ikut bertumbuh dalam rahim karena gisi makan dan dilahirkan hingga berlangsunkan kehidupan di dunia karena makanan. Oleh  karenannya, Nason Pigai dalam bukunya dapat memberikan pokok-pokok pikiran jernih dalam kerapu
1.    Makanan sebagai sarana pembentuk manusia - Mee Komugai
2.    Makanan sebagai sarana pembentuk kesehatan - Mobu Komugai
3.    Makanan sebagai sarana pembentuk kecerdasan - Epi Komugai
4.    Makanan sebagai sarana beramal kasih- Ipa Komugai
5.    Makanan sebagai sarana berbisnis - Edepede Komugai
6.    Makanan sebagai sarana berpesta - Yuwo Komugai
7.    Makanan sebagai sarana dalam semua aktivitas manusia hingga kembali ke liang lahat pun dirayakan pesta makanan yang dikenal dengan sebutan suku Mee “Dagouwo”.
Sementara dalam ulasannya dapat dilihat dari dua sudut pandang bahwa makanan bisa menjadi sarana pembawah berkat dan juga bisa membawa petaka dalam kehidupan manusia. Artinya, makanan pada dasarnya berkat tetapi ketika orang-orang tertentu dibalikkan berkat itu menjadi petaka bagi orang lain dengan melakukan sesuatu yang jahat kepada orang lain. Milasnya, melalui makan membunuh dengan cara masukan obat jahat dalam makanan.

Makanan yang telah menjadi berkat, kehidupan dan kecerdasan hidup itu, kini dilumpuhkan atau sedang menujuh jalan kepunahan yang disebabkan karena prilaku manusia yang tak bermartabat, seperti yang diulaskan oleh Nason Pigai dalam bukunya “KIBARKAN SANG BENDERA MAKANAN. Gerakan Pemulihan Habitat Untuk Membangun Martabat Hidup Orang Papua Proto”

Pertama, Pengawai negeri sipil atau swasta, urusan makanan kebanyakan hanya tergantung pada gaji dan jatah berasnya, karena merasa tua besar dengan status pengawainya. Akhirnya sedikit tersingkir jiwa kerja tanian.
Kedua, Kaum terpelajar, urusan makanan hanya tergantung kepada orang tua dan sanak-saudaranya, kyaarena merasa dirinya maha besar dengan gelar yang diraihnya. Akhirnya budaya kerja bertani pudar dari pundaknya.

Ketiga, Pemerintah daerah (pejabat orang asli Papua), urusan makanan hanya tergantung pada hasil-hasil produksi dari pabrik atau dari daerah lain walaupun makanan lokal ada.
Keempat, Pejudi  atau status sosial apapun, urusan makanan tergantung kepada orang lain karena waktu untuk bekerja-adakan bahan makanan dimanfaatkan hanya untuk judi. Misalnya hitung togel sampai waktu habiskan.

Kelima, Pemabuk, aibon dan lainnya, urusan makanan tergantung kepada keluar atau orang lain, karena dirinya sibuk dengan konsumsi atau pesta miras. Dan seterusnya.
Melihat adanya pergeseran identitas budaya dalam hal pengadaaan pangan lokal yang kian hari kian merosot itu, maka Nason Pigai sebagai anak adat Papua yang pernah hidup di “Makewapa” (tempat bersejarah suku Mee) dapat mengatakan bahwa “Orang Papua Harus Rekonsiliasi akan Budayanya”. 

Orang Papua harus mendeklarasikan kemerdekaan identitasnya dengan prinsip, yakni: Aku adalah Aku, Sukuku adalah Sukuku, Bangsaku adalah Bangsaku, Makananku adalah Makananku, Negeriku adalah Negeriku, Bahasaku adalah Bahasaku, Budayaku adalah Budayaku, Gerejaku adalah Gerejaku dan seterusnya.

Deklarasi ini dinilai penting dan utama dalam mempertahankan identitas budaya juga pangan lokal dalam kehidupan orang Papua proto. Bangsa yang dikatakan besar ketika identitas budayanya sudah merdeka. Bangsa yang dikatakan besar ketika menghargai produk lokal termasuk makanannya. Bangsa yang dikatakan bermatabat ketika kebutuhan pokok “makanan” sudah terpenuhi.


Yogyakarta, 4 April 2018
 
Copyright © 2013 Menongko I Ekspresi Hati
Design by MOSES | DOUW